KAUM NASIONALIS DAN ISU NASIONALISASI

UNITE INDONESIA

Pertarungan politik menuju Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 menorehkan isu penting: nasionalisasi aset asing. Dan, lantaran kegusaran Presiden SBY, isu itu menggelinding kemana-mana.

Dalam video yang diunggah di Youtube tanggal 5 Mei lalu, Presiden SBY mengomentari janji kampanye para capres. SBY menilai, ada janji-janji kampanye para capres yang berbahaya. Salah satu janji kampanye capres yang dianggap berbahaya oleh SBY adalah nasionalisasi terhadap semua aset asing di Indonesia.
Pertarungan politik menuju Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 menorehkan isu penting: nasionalisasi aset asing. Dan, lantaran kegusaran Presiden SBY, isu itu menggelinding kemana-mana.

Dalam video yang diunggah di Youtube tanggal 5 Mei lalu, Presiden SBY mengomentari janji kampanye para capres. SBY menilai, ada janji-janji kampanye para capres yang berbahaya. Salah satu janji kampanye capres yang dianggap berbahaya oleh SBY adalah nasionalisasi terhadap semua aset asing di Indonesia.


Menurut SBY, janji nasionalisasi aset asing itu bisa membuat perekonomian Indonesia hancur. “Nanti yang perjanjiannya sudah di era Bung Karno dan Pak Harto dan sekarang, hari ini dinasionalisasi aset asing di Indonesia, besok kita akan dituntut di arbitrase internasional. Lusa kita akan kalah. Kalahnya akan memorak-porandakan perekonomian kita, dampaknnya sangat dahsyat,” kata SBY.

Tak salah lagi, pernyataan SBY ini menyasar capres dari partai-partai nasionalis, yakni Jokowi dan Prabowo, yang selama ini getol berbicara mengenai kemandirian ekonomi. Sayangnya, bukannya membantah kesalahan di balik pernyataan SBY itu, para capres nasionalis justru berlomba-lomba ‘cuci-tangan’.

PDIP melalui jurubicaranya, Maruarar Sirait, menegaskan bahwa partainya tidak punya agenda untuk menasionalisasi aset-aset nasional yang dikuasai oleh asing. Dia menegaskan bahwa semua pihak harus menghormati semua kontrak yang dibuat bersama-sama.

Sejurus dengan itu, capres yang diusung oleh PDIP, Joko Widodo, juga menyatakan bahwa ‘negara ini harus terbuka terhadap investasi’. Hanya saja, Jokowi menegaskan, investasi asing itu harus memberi keuntungan kepada rakyat Indonesia.

Partai Gerindra pun tak ketinggalan memainkan ‘jurus menghindar’. Melalui Ketua Umumnya, Suhardi, Gerindra menyatakan bahwa Prabowo tidak pernah mengkampanyekan nasionalisasi aset asing. Menurutnya, yang sering dikampanyekan oleh Prabowo adalah renegosiasi dengan perusahaan asing agar adil.

Ketakukan Terhadap Isu Nasionalisasi

Memang, melalui mulut SBY, isu nasionalisasi memang terkesan menakutkan. Bayangkan, kata SBY, kalau ada Presiden yang ngotot menasionalisasi aset asing, maka perekonomian nasional bisa porak-poranda. Itu esensi pernyataan SBY. Benarkah demikian?

Menurut saya, ketakutan SBY itu sangat janggal. Pertama, kesimpulan SBY bahwa nasionalisasi aset asing bisa memporak-porandakan ekonomi nasional masihlah sebatas asumsi, bukan sebuah fakta. Kedua, kekhawatiran SBY itu mesti ditelusuri, apakah benar-benar mewakili kepentingan bangsa atau justru investor asing?

Bagi saya, kekhawatiran SBY terhadap isu nasionalisasi memang lebih sebagai prasangka ketimbang kenyataan. Ia hanya takut kalau Indonesia melakukan nasionalisasi, lantas digugat di Arbitrase Internasional dan kalah, ekonomi nasional bisa hancur. Tetapi apa basis material dari dugaan ini?

Dalam acara ‘Bincang Pagi’ di Metro-TV, tanggal 8 Mei lalu, ekonom sekaligus politikus dari Partai Demokrat, Ikhsan Modjo, justru merujuk ‘kegagalan’ nasionalisasi dari negara lain, yakni Argentina dan Bolivia. Menurut dia, nasionalisasi di Argentina dan Bolivia menjadi bumerang bagi perekonomia negeri itu.

Namun, kesimpulan Ikhsan Modjo itu sangat serampangan. Pada kenyataannya, seusai melakukan nasionalisasi, Argentina dan Bolivia justru menikmati keuntungan berlipat. Di Bolivia, tujuh tahun sebelum nasionalisasi (1999-2005), negara hanya menerima 2 milyar USD dari pertambangan. Namun sebaliknya, tujuh tahun setelah nasionalisasi, Bolivia menerima pemasukan sebesar 16 milyar USD.

Tak hanya itu, melalui nasionalisasi, Bolivia berhasil merebut kembali kontrol nasional atas kekayaan alamnya. Perusahaan gas negara Bolivia juga berkembang pesat. Lalu, dari keuntungan yang didapat dari sektor pertambangan, Bolivia sekarang berhasil mengurangi kemiskinan, membiayai pendidikan dan kesehatan rakyatnya, dan memberikan jaminan sosial kepada ibu hamil, kaum miskin, dan pensiunan.

Ketakutan bahwa nasionalisasi akan membuat investor asing akan ‘hengkang’ juga tidak terbukti. Di banyak negeri yang melakukan nasionalisasi, seperti Bolivia, Venezuela, dan Argentina, korporasi asing tetap bertahan. Kendati mereka dipaksa ‘patuh’ kepada aturan yang dibuat oleh negara.

Selain itu, ketakutakan akan kalah di Arbitrase Internasional juga berlebihan. Ini dibuktikan oleh pengalaman Venezuela. Tahun 2007, Venezuela menasionalisasi proyek Exxon di Cerro Negro di daerah Orinoco, Venezuela, yang merupakan salah satu cadangan minyak mentah terbesar dunia. Lantaran itu, Exxon menggugat Venezuela sebesar 12 milyar USD di lembaga arbitrase internasional. Namun, pada tahun 2012 lalu, Arbitrase Internasional justru memenangkan Venezuela atas gugatan Exxon tersebut.

Dalam sejarah, Indonesia juga pernah menasionalisasi perusahaan asing, terutama milik kolonial Belanda, di tahun 1957 hingga tahun 1960-an. Tercatat, dari tahun 1957 hingga 1960, sebanyak 700-an perusahaan milik kolonial Belanda jatuh ke tangan Republik Indonesia. Jumlah itu mewakili 70% jumlah perusahaan asing di Indonesia saat itu. Saat itu pemerintahan Soekarno bahkan menerbitkan UU nasionalisasi, yakni UU nomor 86 tahun 1958 tentang nasionalisasi perusahaan Belanda.

Saat itu, nasionalisasi dimaksudkan untuk melikuidasi sisa-sisa ekonomi kolonial, baik modal Belanda maupun modal dari negeri imperialis lainnya, yang merintangi kemajuan ekonomi nasional. Dengan menasionalisasi perusahaan asing, pemerintah mengurangi pengaruh modal asing terhadap perekonomian nasional yang terbukti eksploitatif dan merugikan kepentingan rakyat banyak.

Jadi, singkat cerita, ketakuan SBY terhadap isu nasionalisasi sama sekali tidak berdasar. Sebaliknya, saya menduga, ketakutan yang dihembuskan oleh SBY itu bukan mewakili dirinya, melainkan pesanan dari sponsor: investor asing atau korporasi multinasional. Saya kira, meruncingnya isu nasionalisme dalam Pilpres kali ini memang sangat menggusarkan investor asing. Sebab, kendati pemantiknya adalah para elit politik yang bertarung di pemilu, tetapi isu itu bisa meluas karena mewakili keresahaan umum massa-rakyat terhadap dominasi modal asing dalam segala aspek perekonomian nasional.

Nah, inilah yang kita sayangkan. Capres-capres nasionalis justru melunak dengan isu nasionalisasi itu. Sikap lunak para capres nasionalis itu punya konsekuensi. Pertama, mereka gagal menciptakan garis pembeda yang jelas dengan kekuatan neoliberal dalam isu yang sangat strategis, yakni penyelematan aset dan sumber daya nasional. Kedua, jika kekhawatiran SBY itu benar-benar mewakili kepentingan investor asing, berarti capres-capres nasionalis pun tidak punya ‘nyali politik’ untuk menegakkan kepentingan nasional di hadapan investor asing.

Dominasi Asing Dan Isu Nasionalisasi

Memang, salah satu persoalan besar dalam ekonomi nasional saat ini adalah kuatnya penguasaan oleh modal asing terhadap aset-aset ekonomi nasional, baik penguasaan sumber daya alam (SDA) maupun sektor-sektor ekonomi strategis.

Massifnya penguasaan asing terhadap aset ekonomi nasional itu berkorelasi dengan penerapan kebijakan neoliberal dalam satu dekade terakhir. Kebijakan neoliberal, yang salah satu pilarnya adalah kebebasan investasi, mendorong laju ekspansi modal asing dalam mencaplok sumber daya dan aset-aset ekonomi nasional.

Penguasaan asing terhadap aset ekonomi nasional itu berdampak pada penyingkiran terhadap mayoritas rakyat, seperti petani, masyarakat adat, kaum miskin kota, buruh, dan lain-lain, dari alat-alat produksi dan sumber daya ekonomi. Dalam banyak kasus, kehadiran investasi asing ini disertai dengan perampasan lahan, penguasaan sumber daya milik rakyat, pengusiran penduduk, dan kekerasan.

Selain itu, dominasi modal asing itu menyebabkan hilangnya kontrol atau kendali negara terhadap aset ekonomi nasionalnya. Di sini, negara tidak punya lagi kontrol untuk memastikan penggunaan sumber daya itu untuk kepentingan nasionalnya. Akibatnya, negara tidak berdaulat secara ekonomi. Sebagai misal, kita punya sumber daya energi yang melimpah, tetapi rakyat dan industri nasional kita tetap kesulitan mendapat pasokan energi yang cukup dan terjangkau.

Lebih jauh lagi, negara tidak bisa memanfaatkan sumber daya nasionalnya untuk memajukan kekuatan produktif dan ekonomi nasionalnya. Karena sebagian besar keuntungan SDA mengalir ke kantor perusahaan asing, negara tidak punya cukup dana untuk berinvestasi di sektor pendidikan, kesehatan, kebudayaan, dan lain-lain.

Kemudian, melalui agenda privatisasi yang begitu massif dalam satu dekade terakhir, hampir semua perusahaan negara yang dulu dibangun dengan uang rakyat berpindah-tangan ke pihak swasta asing.

Inilah persoalan pokok bangsa kita saat ini. Modal asing bukan hanya menguasai sumber daya alam dan aset strategis kita, tetapi juga sudah memegang tampuk produksi. Alhasil, secara ekonomi, kita tidak bisa lagi disebut merdeka dan berdaulat.

Bung Karno pernah bilang, sebuah negara tidak bisa dikatakan merdeka kalau kebijakan ekonominya membiarkan kekayaan dari hasil-hasil buminya mengalir ke peti-peti kekayaan perusahaan-perusahaan raksasa kapitalis dunia.

Kemudian, di tahun 1961, Bung Karno juga mengingatkan, “Tak dapat kita mengambil manfaat 100% dari kekayaan bumi dan air kita sendiri, kalau imperialisme ekonomi dan imperialisme politik masih bercokol di tubuh kita, laksana lintah yang menghisap darah.”

Saya kira, kondisi di ataslah yang menjadi basis objektif lahirnya isu nasionalisasi aset asing. Bagi banyak kalangan, terutama gerakan rakyat, nasionalisasi merupakan jalan terbaik untuk mengembalikan kekayaan alam dan aset nasional ke tangan rakyat.

Semangat Pasal 33 UUD 1945

Yang perlu juga disadari, dominasi asing dalam penguasaan aset nasional kita sebetulnya sudah melabrak konstitusi, yakni pasal 33 UUD 1945. Dominasi asing telah menempatkan penguasaan dan tampuk produksi di tangan kapital asing.

Dalam konteks itu, pengambil-alihan melalui jalan nasionalisasi bukan tindakan yang inkonstitusional. Justru, nasionalisi merupakan tindakan paling konstitusional dalam kerangka menyelamatkan dan memerdekakan ekonomi nasional.

Hanya saja memang, kalau merujuk ke pasal 33 UUD 1945, perkaranya memang tidak sesederhana pengambil-alihan aset asing. Bung Karno pernah bilang, memerdekakan ekonomi nasional itu bukan sekedar indonesianisasi, bukan sekedar mengganti kepemilikan perusahaan asing dengan orang Indonesia. Bahkan, sekalipun tampuk produksi sudah di tangan pemerintah, belum ada jaminan sudah sesuai dengan prinsip pasal 33 UUD 1945.

Karena itu, dalam konteks pasal 33 UUD 1945, ada tiga hal yang mesti diperjelas: struktur kepemilikan, organisasi dan proses produksi, dan orientasi produksi. Tiga hal ini penting diperjelas untuk memastikan kontrol dan penguasaan nasional terhadap kekayaan alam dan aset nasional benar-benar memperbesar kemakmuran rakyat.

Terkait struktur kepemilikan, nasionalisasi memang merupakan jalan mengembalikan kontrol negara terhadap sumber daya dan aset nasional. Namun, belajar dari pengalaman banyak negara, kontrol negara ini bisa menyimpang: korupsi, mismanajemen, birokratisme, dan lain-lain. Karena itu, sesuai amanat pasal 33 UUD 1945 ayat (1), harus ada upaya untuk mendorong kepemilikan sumber daya atau aset nasional menjadi kepemilikan umum.

Kemudian, terkait organisasi dan proses produksi, selain di tangan perusahaan negara, pemerintah juga harus mendorong partisipasi rakyat dalam produksi melalui unit usaha kolektif seperti unit produksi sosial dan koperasi. Dalam konteks ini, swasta tentu dibolehkan mengambil peran, tetapi harus tunduk pada koridor yang dibatasi oleh negara. Kalaupun dibolehkan, swasta hanya dibolehkan di sektor atau lapangan usaha yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak.

Kemudian, yang lebih penting lagi, nasionalisasi ini harus mengubah orientasi produksi, dari sebelumnya berorientasi ekspor bahan mentah menjadi berorientasi ke kepentingan nasional; dari sebelumnya melayani tujuan kapital (menggali keuntungan untuk segelintir orang) menjadi melayani kebutuhan rakyat.

 

source: http://www.bpsimprs2014.com/

Leave a comment